Sabtu, September 19

Sistem Akuaponik Spiral, Sistem Pertanian Lahan Sempit yang Artistik dan Menguntungkan



 
Gambar 1. Sistem Akuaponik dapat Menjadi Pemecahan Masalah untuk Pertanian Lahan Sempit


Akuaponik adalah sistem pertanian berkelanjutan yang mengkombinasikan akuakultur dan hidroponik dalam lingkungan yang bersifat simbiotik. Dalam akuakultur yang normal, ekskresi dari hewan yang dipelihara akan terakumulasi di air dan meningkatkan toksisitas air jika tidak dibuang. Dalam akuaponik, ekskresi hewan diberikan kepada tanaman agar dipecah menjadi nitrat dan nitrit melalui proses alami, dan dimanfaatkan oleh tanaman sebagai nutrisi. Air kemudian bersirkulasi kembali ke sistem akuakultur.
Menurut Nur Tjahjadi dalam tulisannya Aquaponik, GabunganAquakultur (Ikan) dan Hidroponik (Sayuran) di ekonomi.kompasiana.com, aquakuktur adalah teknik memelihara ikan di dalam kolam, sedangkan hidroponik adalah bercocok tanam tanpa tanah.


Gambar 2. Budidaya Ikan yang Nantinya Akan Memberikan Nutrisi Bagi Tanaman (Hidroponik)


Pada aquaponik, nutrisi untuk tanaman diambil dari air kolam yang kaya akan unsur hara dan baik bagi pertumbuhan tanaman. Air kolam yang sudah jenuh dengan amoniak jika disiramkan ke tanaman akan menjadikan tanaman tumbuh lebih baik.  Amoniak mengandung nitrogen dalam bentuk ion yang siap diserap tanaman.  Sebelumnya air kolam itu sudah diberi pupuk kandang (kotoran ayam dan kotoran kambing) sebagai starter tumbuhnya fitoplankton sebagai pakan ikan.  Selain nitrogen,  kotoran ikan juga banyak mengandung zat-zat yang dibutuhkan tanaman.
Tanaman yang tumbuh dalam subsistem hidroponik, dengan akar terendam dalam air akan mendapatkan pasokan nutrisi yang berasal dari limbah kolam, tanaman akan membantu untuk menyaring amonia yang merupakan racun bagi hewan air, atau metabolitnya.  Setelah melewati subsistem hidroponik, air menjadi bersih dan kaya oksigen, dan dapat kembali ke dalam sistem air.
Dengan kata lain, tanaman yang tumbuh dalam subsistem hidroponik, dengan akar terendam dalam air kaya nutrisi yang berasal dari limbah kolam, akan membantu untuk menyaring amonia yang merupakan racun bagi hewan air, atau metabolitnya.  Setelah melewati subsistem hidroponik, air menjadi bersih dan kaya oksigen, dan dapat kembali ke dalam sistem air.



Gambar 3. Tanaman Tumbuh Segar dalam Sistem Aquaponik


Gambar 4. Akar Tanaman yang Langsung Mendapatkan Nutrisi dari Air

Sayuran daun hijau yang paling baik tumbuh dalam subsistem hidroponik adalah selada, kemangi, tomat, okra, melon dan paprika. Selain itu, spesies lain antara lain buncis, kacang polong, kol, selada air, talas, lobak, stroberi, melon, bawang, lobak, lobak, ubi jalar dan rempah-rempah juga dapat menjadi pilihan tanaman yang bisa ditanam secara aquaponik. Sedangkan jenis ikan air tawar yang paling umum digunakan dalam sistem aquaponik dan paling popular untuk aquaponik skala rumah tangga maupun komersial adalah nila, lele, patin, dan belut.
Jadi jelaslah, teknologi aquaponik layak untuk dikembangkan di lahan pekarangan terutama di perkotaan yang memiliki lahan pekarangan sempit hingga sangat sempit. Teknologi aquaponik ini dapat menjadi langkah awal yang logis menuju kamandirian pangan keluarga dan bahkan bangsa Indonesia.
Gambar 5. Proses Pembangunan Sistem Akuaponik Spiral


Gambar 6. Membentuk Kolam Ikan yang Menjadi Pusat Sistem Akuaponik Spiral


Gambar 7. Penyusunan Tanaman atau Sayur-Sayuran dalam Bentuk Spiral yang Telah Ditentukan Sebelumnya


Sumber artikel:



sumber gambar:

Nama : Konaah Irmanti
NIM   : 13205
Gol     : A.3.1
Kel     : 2









Jumat, September 18

BUSMETIK COCOK UNTUK WONG CILIK

5:28:26 am redaksi http agroindonesia.co.id,Fenny YL Budiman
Keseriusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembalikan cerita manis jayanya udang nasional terbukti mampu menarik antusiasme pembudidaya. Revitalisasi tambak udang lewat percontohan usaha budidaya udang di lahan kelompok pembudidaya atau beken dengan istilah demonstration farm (demfarm) pun menggema ke seluruh pesisir di Tanah Air.
       Belakangan, demfarm yang pertama kali dilakukan di 5 kabupaten di provinsi Banten dan Jawa Barat yakni Serang, Karawang, Subang, Cirebon dan Indramayu, total seluas 1.000 hektare ini pun kedodoran akibat dugaan penggelapan pengadaan genset.Sementara, teknologi Budidaya Udang Skala Mini Empang Plastik (Busmetik) yang menyederhanakan budidaya udang, terjangkau masyarakat kecil, ramah lingkungan dan menguntungkan ini belum “bersinar”.Padahal, rekayasa inovatif yang diciptakan oleh Tubagus Haeru Rahayu ini sanggup mengubah yang rumit dan berskala besar menjadi empang dari plastik dengan ukuran tidak lebih dari 600m2.Tubagus Haeru Rahayu mengaku sosialisasi Busmetik masih kurang. Sehingga, pemahaman publik terhadap teknologi ini keliru. “Busmetik susah diaplikasikan, keliru. Ini karena proses sosialisasinya kurang. Busmetik justru menyederhanakan budidaya udang, terjangkau masyarakat kecil dan ramah lingkungan,” ujar pria kelahiran Serang, 19 Juni 1971.Menak Banten yang kini menjabat Asisten Deputi Pendidikan dan Pelatihan Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman ini menjelaskan, teknologi Busmetik bisa diterapkan dimana saja. Entah itu di lahan berpasir atau di lahan berukuran kecil. Ini berkat penggunaan media plastik jenis HDPE setebal 0,5 mm.“Sehingga, para pembudidaya mudah mengontrolnya dan biaya investasinya tidak terlalu besar, sekitar Rp500 juta per modul,” kata penerima Satyalencana Pembangunan dari Presiden RI (2014) dan pegawai berprestasi dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (2013) ini.Menurut Haeru, Busmetik tidak perlu menebang pohon mangrove seperti tambak-tambak udang konvensional. Busmetik bisa berdampingan dengan berbagai biota laut yang  ada di sekitarnya.  Lagi pula, pembuangan air limbah pasca panen tidak langsung dibuang ke laut. Tapi dialirkan dulu ke sela-sela pohon mangrove. Alhasil, mangrove pun jadi subur.Untuk mengetahui seputar teknologi Busmetik, berikut penuturan Doktor di bidang Biologi lulusan Universitas Indonesia, Master Akuakultur jebolan Ghent University, Belgia dan Sarjana Akuakultur tamatan Sekolah Tinggi Perikanan ini beberapa waktu yang lalu di Jakarta.Kabarnya, produktivitas Busmetik benar-benar sip ya?Pengalaman di lapangan selama 3 tahun menunjukkan hasil yang sesuai dengan estimasi teknis yang ditentukan sebelumnya. Teknologi Busmetik dicoba dengan kepadatan tanam yang berbeda. Mulai dari kepadatan sekitar 100 ekor/m2 hingga diatas 250 ekor/m2.Sejauh ini produktivitas yang sudah dihasilkan dari kepadatan 250 ekor/m2 adalah 1,4 kg/m2 atau setara dengan 14 ton/ha hingga 3,4 kg/m2 atau 34 ton/ha.Teknologi Busmetik sebaiknya diterapkan untuk budidaya udang vaname (Litopeneus vannamei). Karena udang vaname bisa ditebar dengan kepadatan tinggi,  >100 ekor/m3, lebih tahan penyakit dan segmen pasarnya lebih fleksibel, size 150 sudah laku dijual.Penambahan lahan untuk tambak udang dituding merusak ekosistem mangrove dan merugikan masyarakat pesisir. Sebaliknya, Busmetik disebut-sebut teknologi yang ramah lingkungan. Seperti apa sih inovasinya?Busmetik tetap mempertahankan pohon mangrove di sekitar tambak. Tujuannya, supaya hama penganggu seperti ketam atau kodok tidak masuk ke lahan budidaya. Hama sudah menempatkan dirinya di habitatnya. Sistem budidayanya tertutup dan tetap mempertahankan aspek lingkungan dengan ukuran wadah yang kecil, >1.000 m2, penggunaan air bisa diminimalisir.Selain itu pembuangan limbah pasca panen tidak langsung dibuang ke laut. Sebelum ke laut, air limbah dialirkan dahulu di sela-sela pohon mangrove. Dampak dari sistem ini mangrovenya menjadi subur.  Masyarakat pun tidak complain. Pemerhati lingkungan juga tidak keberatan dengan inovasi budidaya udang Busmetik.Bagi kami, kegiatan budidaya udang ini juga kita sinergikan dengan beberapa kegiatan lain sesuai dengan pendekatan blue economy, yaitu pemanfaatan limbah budidaya untuk pertumbuhan vegetasi mangrove dan bandeng.
Busmetik sudah diadopsi di mana saja?
       Tahun 2015, Pemda (Pemerintah Daerah) Kalimantan Utara, Pemda Kabupaten Serang, Pemda Pacitan sudah mengadopsi teknologi Busmetik. Termasuk perusahaan swasta di Cilacap, Lampung dan Nusa Tenggara Barat.Tahun 2014, teknologi Busmetik dijadikan bahan rujukan oleh Pemda Banten melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Kabupaten Banten. Busmetik dalam bentuk demplot dijadikan media pembelajaran bagi stakeholder perikanan budidaya di wilayah setempat.Sejak tahun 2010, teknologi Busmetik sudah didesiminasikan kepada peserta didik Sekolah Tinggi Perikanan dan tahun 2012, direplika di beberapa daerah antara lain Ladong (Aceh), Bone (Sulawesi Selatan) dan Lampung.Apa di lapangan Busmetik sudah berjalan sesuai dengan harapan? Implementasi teknologi Busmetik di lapangan memang tidak selalu mulus. Kendalanya, bukan substansi teknisnya, tapi kebanyakan faktor sumberdaya manusianya. Kegagalan biasanya disebabkan karena kurang konsisten dan disiplinnya para pembudidaya dalam menerapkan standard operational procedure dari teknologi Busmetik itu sendiri.Selain itu urusan plastik  HDPE yang harganya relatif mahal. Plastik yang bisa digunakan hingga 10 tahun lamanya ini per meternya sekitar Rp20.000.  Jika 1 petak Busmetik seluas 600 meter persegi, kepadatan tebar 100-300 ekor per meter persegi yang menghasilkan 2 ton seharga Rp120 juta, biaya plastik Rp50 juta, masih nutup lah. 
Sumber :http://agroindonesia.co.id/index.php/2015/08/11/busmetik-cocok-untuk-wong-cilik/
Sumber gambar :  http://www.bibitikan.net/stp-serang-ciptakan-inovasi-busmetik-budidaya-udang-skala-mini-empang-plastik/
Nama : Al Rizki Z
NIM : 13/348153/PN/13204
Gol : A3.1

Kamis, September 17

Mina Padi, Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Menekan Perubahan Iklim. Seperti Apakah?


Hamparan tanaman padi di pesawahan di Dusun Kabunan, Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, terlihat indah dan hijau menyejukkan mata. Tetapi ada yang berbeda dari pesawahan di Dusun Kabunan ini, sawah tidak hanya ditanami padi, tetapi juga ikan nila dan lele dalam satu lokasi yang sama dengan padi.

Ya, inilah model pertanian mina padi yang dilakukan oleh kelompok tani Mina Tunas Baru yang didirikan oleh Toto Wiharto. “Mina padi itu ya bertani sambil beternak ikan di lahan yang sama,” kata Toto, ketika ditemui Mongabay pada Senin (10/02/ 2015) di pinggiran sawah miliknya.

Sistem pertanian mina padi, memberi keuntungan berupa padi dan ikan bagi petani di Bantul, Yogyakarta. Foto : Tommy Apriando

Ia pun bercerita bagaimana sampai kelompok taninya memilih bertani secara mina padi. Berawal dari keputusannya pindah dari  Kendari, Sulawesi Tenggara ke Yogyakarta pada 2009, untuk menjadi petani. Pada 2013, ia dikenalkan sistem mina padi oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Perikanan Ngemplak, Muh Hillal.
Awalnya Toto dan beberapa rekannya tidak yakin mina padi efektif dan memberikan keuntungan bagi petani. Setelah melakukan pertimbangan matang akhirnya mengambil keputusan untuk mencoba menerapkannya.
Enam dari 16 anggota kelompok Mina Tunas Baru menjadi penggarap proyek percontohan dari Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mereka melakukan mina padi pada lahan 4000 meter persegi, dengan menanam padi jenis Ciherang dan ikan nila merah berukuran 12 gram atau usia 45 hari.
Tidak berbeda dengan proses menanam padi konvensional, proses mina padi dimulai dengan membajak sawah, lalu membuat kolam berukuran 4×1 meter dengan jalur ikan ditengahnya. Kemudian pupuk kompos dan padi ditanam padi. Setelah satu atau dua minggu penanaman padi, sawah diairi dan bibit ikan dimasukkan. “Per 1000 meter perseginya memerlukan 200 kilogram pupuk kompos dan 8 kilogram pupuk urea,” kata Toto.
Ternyata Toto dan lima rekannya merasakan keuntungan sistem mina padi, yaitu padi jadi lebih subur, penggunaan pupuk kimia yang berkurang dan pendapatan petani bertambah dari ternak ikan.
Dengan cara konvensional,  10-15 tunas padi yang ditanam menghasilkan 160-170 bulir padi. Sedangkan dengan sistem mina padi, 40-an tunas padi menghasilkan 215 bulir padi. Tanaman padi juga tidak terserang hama tikus dan wereng (serangga) karena tanaman terendam air. Namun serangan burung masih tetap jadi ancaman bagi petani. Sedangkan ikan tidak memerlukan banyak pakan, namun perlu didukung pengairan yang bersih.
“Setiap 1000 meter dengan mina padi bisa menghasilkan besar sampai 10 kuintal lebih,” kata Toto sembari tersenyum.

Toto Wiharto di sawahnya yang menggunakan sistem mina padi. Foto : Tommy Apriando

Ia pernah mengikuti pelatihan teknik bertani yang dilakukan Thailand. Ia terpukau akan hasil pertanian yang melimpah disana. Setiap 1000 meter persegi memperoleh hasil 14 hingga 16 kuintal padi, sedangkan di Indonesia rata-rata 6-7 kuintal. Ia yakin bahwa mina padi jika diterapkan, swasembada pangan pada sektor padi dan ikan air tawar bisa tercapai.
Sedangkan dari ikan, bisa diperoleh 9000 ekor dari 4000 meter persegi. Ia bisa memanen ikan ukuran 4 -7 ekor/kilogram setiap 2,5 bulan, dengan harga jual Rp. 18.000,-. Harga ikan nila pun stabil dan cenderung naik, berbeda dengan ikan lele dan gurame. “Ikan hasil panen dipasarkan di daerah Sleman dan Kota Yogyakarta. Pendapatan dari penjualan ikan bisa menutupi biaya pupuk,” katanya.
Pada akhir 2014, dia berhasil memanen 8000 ikan dari 9000 bibit ikan yang ditebar. Setiap tahun, Toto dua kali menggunakan sistem mina padi di musim hujan, tapi tidak dilakukan pada musim kemarau.

Dikenalkan Sejak 2010

Kepala Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Perikanan Kecamatan Ngemplak, Sleman, Muh Hillal mengatakan, ada empat kelompok tani/mina padi yang dijadilan pilot proyek mina padi di wilayahnya dengan hasil yang menggembirakan. Ia mengawali program dari pemerintah pusat tersebut dengan memberikan sosialisasi kepada kelompok tani, termasuk bantuan dana teknis, pakan, bibit dan peralatan penunjang.  ”Saat ini dihentikan sementara, namun akan dilanjutkan lagi dimusim tanam berikutnya,” kata HIllal.
Kepala Bidang Perikanan, Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman Suparmono kepada Mongabay mengatakan, sudah dari tahun 2010 mengenalkan sistem mina padi kepada petani di Sleman. Anggaran diambil dari dana APBD Kabupaten dan Propinsi serta pemerintah pusat.
“Semua kecamatan di Sleman sudah mencoba penerapan mina padi. Dari semua penerapan yang dilakukan memberikan peningkatan pendapatan lebih untuk petani,” kata Suparmono.
Ia menambahkan keuntungan dari mina padi yakni tenaga kerja minim, hasil tani melimpah dan hasil panen ikan sebagai nilai keuntungan lebih. Mina padi  miningkatkan swasembada beras dan ikan di Sleman. Ia optimis sistem ini akan mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia di Yogyakarta, dimana sekitar 45 persen kebutuhan ikan di produksi dari Kabupaten Sleman. “Sekitar 30 ribu ton pertahun produksi ikan di Sleman,” katanya.

Ikan nila dalam sistem pertanian mina padi di sawah milik Toto. Foto : Tommy Apriando


Ikan nila dipilih dalam sistem mina padi, karena tidak mudah terserang penyakit, harga yang terus naik dan permintaan yang meningkat. Menurutnya, untuk 1500 ekor bibit bisa menghasilkan 3 kuintal ikan. Namun, sistem padi yang menguntunkan bagi petani, padi dan ikan ini memerlukaan lahan pertanian yang banyak air.
“Nenek moyang kita sudah mengajarkan kita sistem ini, tinggal kita mengimplementasikannya,” kata Suparmono.

Menekan Perubahan Anomali Iklim

Dari banyak teknologi yang sudah diuji di lahan pertanian untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup sebagai antisipasi anomali iklim, salah satu teknologi yang baik adalah mina padi. Bahkan mina padi telah dikembangkan di Indonesia sejak satu abad lalu.
Dari penelitian Dirjen Perikanan Budidaya KKP tahun 2011, mina padi sebagai budidaya terpadu yang dapat meningkatkan pendapatan petani berupa peningkatan produksi hingga 10 persen, meningkatkan keragaman hasil pertanian berupa ikan, meningkatkan kesuburan tanah dan air dengan penggunaan pupuk yang berkurang 30% dan mengurangi hama penyakit berupa wereng. Mina padi dinilai sebagai salah satu solusi dalam menangani rendahnya produktivitas akibat cuaca ekstrim.
Dari publikasi Dirjen Perikanan Budidaya berjudul Peran Mina Padi: Mereduksi Emisi Gas Metan (CH4) di Udara sebagai Antisipasi Anomali Iklim disebutkan mina padi dapat menyuburkan lahan dari kotoran ikan yang membantu percepatan perbaikan lingkungan. Pola mina padi juga dapat mengurangi gas metan yang dibuang dari sisa pemupukan.
Laporan tersebut menyebutkan perubahan iklim sebagai fenomena global dipicu oleh kegiatan manusia terutama berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil, proses alami dan kegiatan alih fungsi lahan termasuk aktivitas pertanian dan peternakan.  Pertanian dan peternakan menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 8,05% gas rumah kaca yang diemisikan ke atmosfer.
Dampak pemanasan global bagi sektor pertanian dan pertanian yaitu pergeseran musim dan perubahan pola curah hujan sehingga berdampak pada keterlambatan musim tanam atau panen, kegagalan penanaman atau panen karena banjir, tanah longsor dan kekeringan.
Budidaya padi menghasilkan gas metan terbanyak yaitu 2,57 ton/tahun. Secara geografis gas metan tersebut 21,2% disumbangkan oleh lahan budidaya padi dari Jawa Barat, 20,9%, dari Jawa Timur dan 15,9% dari Jawa Tengah.
Melalui mina padi kesuburan tanah di sawah dapat ditingkatkan karena kotoran ikan dan sisa makanan yang berfungsi sebagai pupuk. Kotoran ikan mengandung berbagai unsur hara, sehingga mengurangi 30% penggunaan pupuk anorganik.
Ikan juga mengurangi tumbuhnya tanaman lain yang bersifat kompetitor dengan padi dalam pemanfaatan unsur hara, sehingga mengurangi biaya penyiangan tanaman liar. Oleh karena itu, mina padi harus didukung dengan pemilihan varietas padi. Penggunaan varietas unggul dan adaptif terhadap praktik pertanian terpadu akan mengurangi input pupuk kimia. Laporan itu juga menyebutkan sistem mina padi meningkatkan oksigen di air sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan ikan.
Pengembangan sistem mina padi dapat mendatangkan beberapa keuntungan yaitu menyelamatkan lingkungan dari emisi gas rumah kaca (GRK) dan proses pemenuhan kebutuhan pupuk organik yang ramah lingkungan serta mendukung pencapaian sasaran produksi perikanan hingga 35,5%.
Oleh karena itu, sistem mina padi perlu dukungan program pemerintah dalam upaya penyelamatan lingkungan khususnya isu pemanasan global.


Nama  : Qurrotu Aini Putri
NIM    : 13331
Gol      : A.3.1
Kel      : 2


BPPP Aertembaga dan P2MKP Generasi Baru Cetak Wirausaha Baru Bidang Pengolahan di Kabupaten Bone

BPPP Aertembaga dan P2MKP Generasi Baru Cetak Wirausaha Baru Bidang Pengolahan di Kabupaten Bone

January 10, 2015
Penulis
Herry Agusetiawan, A.Md
Humas BPPP Aertembaga

Kabupaten Bone sebagai salah satu penghasil ikan bandeng terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan potensi yang luar biasa untuk dikembangkan baik bidang budidaya itu sendiri maupun bidang yang menjadi turunannya yaitu pengolahan hasil perikanan khususnya ikan bandeng. Salah satu Visi Bupati Kabupaten Bone adalah Mayarakat Bone yang sehat, cerdas dan sejahtera yang juga disampaikan oleh Ibu Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Ir. Wahida Rahim) ketika pembukaan pelatihan Pengolahan Ikan Bandeng Angkatan 1 dan 2. Tidak lupa beliau menyampaikan terima kasih kepada Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Aertembaga yang telah mengalokasikan pelatihan di Kab. Bone dan menunjuk P2MKP Generasi Baru sebagai pengolah mandiri yang akan membagi ilmunya kepada masyarakat pelaku utama dan pelaku usaha bidang pengolahan hasil perikanan di Kab. Bone, dan semoga akan lahir pengolah/wirausaha baru yang handal dari pelatihan ini. Pelatihan Pengolahan Ikan Bandeng ini berlansung untuk 4 (empat) angkatan. Pelaksanaan untuk angkatan 1 & 2 tanggal, 14 s.d 17 April 2014 dan angkatan 3 & 4 tanggal 22 s.d 25 April 2014, untuk satu angkatan dialokasikan 10 orang peserta yang berasal dari wilayah Kabupatan Bone.
Produksi ikan bandeng di Kabupaten Bone rata-rata pertahun ialah sebanyak 46.754 ton/tahun dengan luas areal tambak 3.356 Ha, dengan areal seluas itu pemerintah mengharapkan agar sumber daya manusia khususnya pengolah ikan lebih ditingkatkan sehingga dapat mengolah hasil budidaya perikanan maupun hasil tangkapan yang dapat memberikan nilai tambah dan pada akhirnya mampu mensejahterakan masyarakat sesuai dengan visi pemerintah Kabupaten Bone.
Kabupaten Bone merupakan salah satu kabupaten di pesisir timur Provinsi Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 174 km dari kota Makassar. Mempunyai garis pantai sepanjang 138 km dari arah selatan kearah utara. Secara astronomis terletak dalam posisi 4013’-5006’ Lintang Selatan dan antara 1190 42’-120040’ Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
·  Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Wajo dan Soppeng
·  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten sinjai dan Gowa
·  Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Teluk Bone
·  Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros, Pangkep, dan Barru.
Dalam upaya memanfaatkan sumber daya alam dibidang perikanan baik budidaya maupun tangkap perlu dilakukan upaya penyiapan SDM yang terampil sehingga mampu mengelola sumber daya perikanan secara optimal, salah satunya melaui pelatihan yang dilakukan oleh P2MKP dibawah bimbingan dan pengawasan dari BPPP Aertembaga.
P2MKP yang berlokasi di Jl. Andi Malla Dusun Tanete Desa Biru Kecamatan Tanete Riattang, juga merupakan unit usaha milik keluarga yang memproduksi aneka olahan hasil perikanan dan dipasarkan disekitar wilayah Kab. Bone. Salah satu cita-cita pengelola P2MKP Generasi Baru adalah menjadikan olahan ikan bandeng sebagai buah tangan khas dari Kab. Bone dan ketika orang mencari oleh-oleh berupa olahan ikan bandeng maka orang akan mencarinya di Kec. Tanete Riattang khususnya P2MKP Generasi Baru.
Peserta pelatihan berasal dari berbagai wilayah di Kab. Bone, untuk peserta pelatihan yang merupakan penerima PUMP pengolahan antara lain Sakira dari Poklatsar “Aha Foods” peserta dari angkatan ke 2, kemudian Darwati dan Hasnidar dari Poklatsar ”Ramadhani” dan Aminah, Nuralam, Heriyanti serta Hastuti dari Poklatsar “Melatih” yang kesemuanya merupakan peserta dari angkatan ke 4. Ada juga peserta yang berasal dari pesantren Wahdah Islamiyah sebanyak 3 orang, salah satu pesertanya adalah pimpinan dari Ponpes tersebut yang juga menjadi pimpinan pusat Pesantren Wahdah Islamiyah region Sulawesi Selatan yaitu Ir. Abdul Rahim. Diharapkan melalui pelatihan ini para penerima PUMP dapat memanfaatkan bantuan yang mereka dapat secara lebih optimal dibandingkan sebelum mereka ikut pelatihan ini. Seirama dengan tujuan pimpinan Ponpes Wahdah Islamiyah, BPPP Aertembaga juga berharap agar ilmu yang didapatkan dari pelatihan dapat diajarkan kembali kepada murid-murid beliau yang ada di Ponpes sehingga akan lahir wirausaha bidang perikanan dari Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah.
Metode pelatihan dilaksanakan dengan menggunakan sistem pendidikan orang dewasa(andragogi) berupa ceramah, diskusi dan praktek yang disusun secara sistematis dalam bentuk Garis-Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP), Satuan Ajar Pembelajaran (SAP), dan Bahan Ajar sesuai petunjuk Lembaga Administrasi Negara (LAN) Jakarta, dengan Materi Sebagai Berikut :Keamanan Pangan, Penanganan Bahan Baku, Membuat Bandeng Cabut Duri, Mengolah Bandeng Presto, Mengolah Bandeng Asap, Mengolah Bandeng Krispy, Mengemas Produk dan Pemasaran Olahan Bandeng.
Purnawidya dari P2MKP Generasi sudah ada yang menjadi wirausaha antaran lain: “Mbak Nina” yang merupakan purnawidya pelatihan tahun 2013, sekarang beliau sudah rutin memproduksi bandeng tanpa duri dan dikirim ke Jakarta dengan produksi 500 kg/bulan. Adapun alumni dari Pelatihan Pengolahan Ikan Bandeng Angkatan ke 1 tahun 2014, sudah berproduksi bandeng tanpa duri dan memasarkannya melalui P2MKP Generasi Baru yaitu ibu Fatmawati dari Desa Bonepute Kec. Tonra.
Pelatihan untuk angkatan ke 1 dan 2 ditutup pada tanggal 17 April 2014 dan untuk angkatan ke 3 dan 4 kegiatan ditutup tanggal 25 April 2014 oleh Supervisor dan Pengolah P2MKP. Ibu Kadis Kelautan dan Perikanan (Ir. Wahida Rahim) hadir ketika penutupan pelatihan angkatan ke 3 dan 4 dalam sambutanya beliau berpesan kepada para peserta pelatihan agar kiranya ilmu yang telah diberikan dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari – hari sebagai seorang pengolah. Juga disampaikan agar kiranya para peserta pelatihan ini nantinya dapat membentuk kelompok – kelompok pengolah sehingga dapat saling berbagi antara sesama dan juga untuk dapat meringankan pekerjaan – pekerjaan yang berat. P2MKP Generasi Baru ini merupakan kelompok pengolah yang inovatif sehingga membantu dinas untuk mengembangkan diversifkasi olahan ikan di Kab. Bone, lanjut Ibu Kepala Dinas. Tidak lupa beliau berterima kasih kepada bapak Pola S.T Panjaitan, A.Pi, MM selaku pimpinan BPPP Aertembaga yang telah mengalokasikan pelatihan di Kab. Bone hingga sampai pada angkatan ke 4 (empat). Semoga sektor Kelautan dan Perikanan menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Republik ini. Jayalah Kelautan dan Perikanan.

Sumber           : http://kkp.go.id/index.php/2015/01/10/test-berita-daerah/



Nama                 : Erintano Ariesta Yunanda
NIM                   : 13329
Golongan           : A.3.1

Kelompok          : 2